Saya seorang mahasiswi Ilmu Komunikasi di Universitas Pamulang.
Suara Purnawirawan dan Aktivis Perempuan Tuntut Reformasi
6 jam lalu
Tahun 2025 menjadi panggung baru bagi kebangkitan politik rakyat. Dua manifesto besar dari Forum Purnawirawan TNI dan Perempuan Jaga Indonesia.
Wacana manifesto politik kembali bergema di Indonesia pada 2025. Namun kali ini, bukan partai politik yang menjadi penggerak utamanya, melainkan kelompok sipil dan purnawirawan militer yang mengambil peran. Mereka membawa semangat baru: mengembalikan politik pada makna aslinya—sebagai ruang perjuangan untuk kepentingan rakyat, bukan sekadar alat kekuasaan.
Pada April 2025, Forum Purnawirawan TNI merilis manifesto berisi delapan tuntutan besar. Isinya antara lain menyerukan kembali ke UUD 1945 versi asli, menghentikan proyek strategis nasional (PSN) yang dinilai merugikan masyarakat seperti PIK 2 dan Rempang, serta mengembalikan Polri ke ranah sipil di bawah Kemendagri. Mereka juga mendorong reshuffle kabinet dan mendesak MPR mencopot Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang dianggap lahir dari putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial.
Langkah ini memantik perhatian publik. Pemerintah merespons dengan sikap hati-hati. “Presiden akan mempelajari aspirasi purnawirawan dengan seksama,” ujar Menko Polhukam Wiranto. Pernyataan ini menandakan adanya ruang dialog, namun juga menunjukkan batas antara aspirasi masyarakat dan realitas politik yang kompleks.
Beberapa bulan kemudian, pada September 2025, suara lain bergema dari kelompok Perempuan Jaga Indonesia (PJI). Melalui manifesto berisi 45 tuntutan, mereka menuntut keadilan gender di bidang politik, pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. PJI juga menyerukan reformasi lembaga negara agar lebih berpihak pada perempuan dan kelompok minoritas, serta mendorong transparansi anggaran dengan perspektif gender.
“Manifesto ini bukan hanya untuk perempuan, tetapi untuk seluruh rakyat yang ingin Indonesia lebih adil,” ujar salah satu perwakilan PJI dalam konferensi persnya.
Dengan gaya yang tenang namun tegas, PJI mengingatkan publik bahwa demokrasi sejati hanya bisa hidup jika semua kelompok punya ruang yang setara untuk bersuara.
Kedua manifesto ini membawa pesan penting: aspirasi politik tidak lagi dimonopoli partai atau elite kekuasaan. Dari ruang veteran hingga komunitas perempuan, kesadaran kolektif mulai tumbuh bahwa perubahan harus dimulai dari keberanian menyuarakan kegelisahan.
Namun, persoalannya tidak berhenti di situ. Tantangan terbesar justru terletak pada realisasi tuntutan. Sebagian besar butuh proses legislasi panjang, revisi undang-undang, bahkan amandemen konstitusi. Tanpa mekanisme pengawasan dan keberlanjutan gerakan, manifesto berpotensi menjadi sekadar dokumen idealis yang terlupakan di meja birokrasi.
Di sisi lain, kemunculan manifesto non-partai ini menunjukkan adanya pergeseran kesadaran politik rakyat Indonesia. Politik tidak lagi identik dengan kampanye atau pemilu, tetapi menjadi ruang dialog yang hidup, di mana rakyat, purnawirawan, dan kelompok sipil sama-sama merasa berhak menentukan arah bangsa.
Mungkin inilah tanda zaman. Bahwa politik hari ini tidak hanya milik mereka yang duduk di kursi kekuasaan, tapi juga mereka yang berani berdiri dan berkata, “Kami ingin Indonesia yang lebih adil.”

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler